Wakil Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Wiko Migantoro, mengungkapkan dua faktor utama yang memberikan dampak signifikan terhadap kinerja bisnis perusahaan saat ini, yakni fluktuasi harga minyak mentah (crude) global dan tekanan berat pada lini bisnis pengolahan (midstream).
Ia menjelaskan bahwa volatilitas harga minyak mentah yang terjadi sejak 2021 menjadi tantangan utama bagi sektor hulu Pertamina.
“Kalau kita lihat grafik harga crude dari tahun 2021 sampai sekarang, tidak ada yang ajeg,” ujar Wiko dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI, Kamis (22/5/2025).
Wiko merinci bahwa pada 2020, harga minyak sempat anjlok ke bawah US$30 per barel akibat pandemi COVID-19. Tahun berikutnya, harga naik namun masih di bawah US$60. Konflik Rusia-Ukraina pada 2022 mendorong lonjakan harga hingga menyentuh US$124 per barel, dengan rata-rata tahunan sebesar US$97. Pada 2023, harga turun ke kisaran US$83, dan dua tahun terakhir relatif stabil di sekitar US$78 per barel.
Baca Juga: Ini Risiko Pengalihan Impor Energi dari Timur Tengah ke Amerika Versi Bos Pertamina
“Tahun ini nampaknya akan lebih berat lagi karena saat ini harga crude sempat turun ke level US$65 per barel,” ujarnya.
Menurut Wiko, penurunan harga ini dipicu oleh meningkatnya pasokan global dari negara-negara OPEC dan non-OPEC, serta lonjakan produksi minyak di Amerika Serikat. Ketidakpastian geopolitik dan lemahnya permintaan turut memperparah tekanan.
“Ini sangat berdampak pada bisnis hulu kami,” tegasnya.
Tekanan kedua datang dari sektor kilang. Wiko menyebut bahwa oversupply produk dan crude global telah menurunkan crack spread, sehingga gross refining margin(GRM) Pertamina menyentuh titik terendah.
“Kondisi ini sangat memengaruhi kinerja kilang kita, nanti bisa terlihat di laporan keuangan,” imbuhnya.
Baca Juga: Pertamina Genjot Kapasitas Domestik untuk Hadapi Pelemahan Rupiah dan Turunnya Harga Minyak Global
Ia menambahkan bahwa tekanan serupa juga dirasakan oleh perusahaan migas global seperti Chevron, BP, serta negara produsen seperti Arab Saudi yang mencatat kerugian dan impairmentbernilai miliaran dolar AS.
Kondisi tersebut mendorong Pertamina melakukan optimalisasi dan restrukturisasi bisnis kilang. Mengingat kilang menyuplai sekitar 70% kebutuhan BBM nasional, menjaga operasionalnya menjadi keharusan meski berada dalam tekanan.
“Oleh sebab itu, restrukturisasi sektor midstream menjadi hal penting yang kini sedang kami inisiasi,” ujarnya.